Selasa, 28 Januari 2014

Tugas kak Randy


PENGEMBANGAN KEMANDIRIAN REMAJA TUNARUNGU
Imas Diana Aprilia
Jurusan Pendidikan Luar Biasa
Universitas Pendidikan Indonesia
ABSTRAK
Perkembangan kemandirian pada remaja khususnya remaja tunarungu merupakan
salah satu isu yang sama penting dan menariknya untuk dikaji secara serius
dengan perkembangan identitas. Pentingnya kajian secara serius terhadap isu
perkembangan kemandirian pada remaja tunarungu didasarkan kepada
pertimbangan bahwa bagi remaja tunarungu, pencapaian kemandirian merupakan
dasar untuk menjadi orang dewasa yang sesuai dengan potensi perkembangannya
secara optimal. Perkembangan kemandirian berlangsung melalui tiga tahapan,
yaitu kemandirian emosional, kemandirian perilaku dan kemandirian nilai.
Kemandirian emosional berkembang lebih awal dan menjadi dasar bagi
perkembangan kemandirian perilaku dan nilai. Perkembangan kemandirian pada
remaja (tunarungu) banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu kecerdasan,
jenis kelamin, pola asuh orangtua, tingkat pendidikan dan pekerjaan orangtua, dan
tekanan kelompok (sosial). Diantara faktor-faktor yang mempengaruhi
kemandirian tersebut, maka semua bermuara kepada kondisi dan situasi pola
interaksi yang terjadi diantara keluarga. Pola dan proses interaksi yang terjadi
antara remaja dengan lingkungan perkembangannya tersebut, akan ditentukan
oleh kemampuan dan kualitas mereka dalam berkomunikasi sebagai modalitas
untuk mengembangkan kepribadian lainnya dalam upaya pencapaian kemandirian
remaja tunarungu secara optimal.
Kata Kunci: Pengembangan kemandirian, remaja tunarungu.
PENDAHULUAN
Kajian terhadap isu perkembangan kemandirian pada remaja akan sangat menarik
karena fenomena perkembangan kemandirian pada masyarakat, terutama kultur
masyarakat timur seperti di Indonesia, sering disalahtafsirkan. Misalnya perilaku
kemandirian terkadang ditafsirkan sebagai pemberontakan (rebellion) karena pada
kenyataannya remaja yang memulai mengembangkan kemandirian seringkali diawali
dengan memunculkan perilaku yang tidak sesuai dengan aturan keluarga (Steinberg,
1993:286). Akibatnya orangtua kurang toleran terhadap proses perolehan kemandirian
yang dilakukan remaja. Tetapi dalam situasi lain orangtua ternyata menginginkan remaja
memiliki kemandirian, bahkan mereka berharap saat dewasa nanti tidak lagi bergantung
kepada orangtua. Inferensi dari salah satu fenomena perkembangan kemandirian ini
adalah bahwa tidak sedikit orangtua yang belum memahami kemandirian.
Tidak mudah bagi remaja dalam pencarian kemandirian, sebab usaha untuk
memutuskan ikatan infantil yang telah berkembang dan dinikmati dengan penuh rasa
nyaman selama masa kanak-kanak seringkali menimbulkan reaksi yang sulit dipahami
(misunderstood) bagi keduabelah pihak, yaitu remaja dan orangtua (Rice, 1996). Remaja
sering tidak mampu memutuskan simpul-simpul ikatan emosional kanak-kanaknya
dengan orangtua secara logis dan objektif. Dalam usaha itu mereka kadang-kadang harus
menentang, berdebat, berbeda pendapat, dan mengkritik dengan pedas sikap-sikap
orangtua (Thornburg, 1982). Meskipun tugas ini sulit bagi kedua belah pihak, namun
orangtua perlu menyadari bahwa pencapaian kebebasan itu merupakan proses
perkembangan yang sungguh normal (Rice, 1996; Lerner dan Spanier, 1980).
Bagi kebanyakan remaja, mengembangkan kemandirian merupakan hal yang
sama pentingnya seperti orang dewasa mengembangkan identitas. Menjadi orang yang
mandiri - orang yang mampu menentukan dan mengelola diri sendiri - merupakan salah
satu tugas perkembangan fundamental masa remaja.
Memasuki masa remaja, bagi seorang tunarungu merupakan masa yang sulit
karena mereka kurang mampu berkomunikasi (menyatakan pikiran, perasaan, ide) dan
berinteraksi yang penting bagi fungsi sosial. Keterbatasan dalam berkomunikasi sebagai
adanya gangguan pendengaran sering menimbulkan kesulitan sosial dan perilaku.
Meadow (1987) yang dikutip Hallahan & Kauffman (1991:71) menyatakan bahwa,
“ inventarisasi kepribadian dengan konsisten menunjukkan bahwa individu
tunarungu mempunyai lebih banyak masalah penyesuaian daripada individu
normal. Jika individu tunarungu yang tanpa masalah-masalah nyata atau serius
diteliti, mereka ternyata menunjukkan kekhasan akan kekakuan, egosentrik, tanpa
kontrol dalam diri, impulsif dan keras kepala”.
Davis (1981) mengemukakan bahwa “ketunarunguan, kecuali dalam kasus-kasus
langka, mempengaruhi ketenangan terjadinya komunikasi dan komunikasi merupakan
dasar bagi interaksi sosial. Jadi keyakinan diri orang yang mengalami hambatan
pendengaran, mempengaruhi bagaimana penolakan oleh orang lain itu diterima atau
ditangani” (Hallahan & Kauffman, 1991:72). Lebih lanjut dikatakan bahwa “individu
tunarungu yang berat tidak melihat kekurangan hubungan sosialnya dan tidak
menginginkan penerimaan penuh dari teman-teman seusianya. Dari fakta inilah masalahmasalah
sosial ditemui oleh orang tunarungu yang menjelang dewasa”.
Untuk itu dalam makalah ini akan diuraikan tentang Bagaimana perkembangan
remaja? Apa sesungguhnya kemandirian itu? Bagaimana kemandirian berkembang?
Kondisi-kondisi apa yang mempengaruhi perkembangan kemandirian? Bagaimana
remaja tunarungu memperoleh kemandirian? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
tersebut dipaparkan pada bagian berikut ini.
PEMBAHASAN
1. Remaja dan Perkembangannya
Istilah masa remaja berasal dari kata latin, “adolescere” yang berarti “tumbuh
menuju masa dewasa” (Steinberg, 1993: 4). Di semua masyarakat, masa remaja
dipandang sebagai suatu masa pertumbuhan atau perkembangan yang bergerak dari
ketidakmatangan masa anak menuju kematangan masa dewasa. Salzman dan Pikunas,
(1976), mengemukakan bahwa remaja merupakan masa pergerakan dari sikap tergantung
(dependence) terhadap orang tua ke arah kemandirian (autonomy). Masa remaja ditandai
dengan (1) berkembangnya sikap dependen kepada orang tua ke arah independen, (2)
minat seksualitas, dan (3) kecenderungan untuk merenung atau memperhatikan diri
sendiri, nilai-nilai etika, dan isu-isu moral (Yusuf, 2002).
Steinberg (1993:4), menyatakan bahwa masa remaja adalah suatu masa yang
menggairahkan atau menyenangkan dalam kehidupan. Mereka menjadi seorang yang
bijaksana, berpengalaman, dan dapat membuat keputusan-keputusan yang sangat baik
bagi dirinya sendiri. Para remaja dipandang telah mampu untuk bekerja, mempersiapkan
perkawinan, dan memberikan suara atau keputusan, sehingga mereka diharapkan dapat
mendukung dirinya sendiri secara finansial (mandiri secara ekonomis).
Dacey dan Kenny (1997) menyatakan, remaja adalah suatu masa dimana anak
memperoleh kebebasan terutama sekali dari keluarga mereka. Kebebasan tersebut
meliputi pencapaian kemandirian secara fisik dan psikologis. Remaja, jika dibandingkan
dengan anak belasan tahun atau anak yang lebih muda, akan lebih bersandar pada dirinya
sendiri daripada terhadap orangtua mereka. Karenanya, bersamaan dengan mulai
berkembangnya aspek kognitif selama masa remaja, sering muncul tanda-tanda
perbedaan ide dengan orang tua dan menguji nilai serta cara mengajar orangtua mereka.
Remaja mulai mempertanyakan dan meragukan pandangan orangtua, dan
mengembangkan ide-ide yang cocok bagi dirinya. Mereka tidak lagi memandang
orangtua sebagai otoritas yang mengetahui segalanya (Dacey dan Kenny, 1997).
Akibatnya, banyak orang berfikir bahwa masa remaja adalah suatu masa menentang
secara besar-besaran, dan menolak nilai-nilai dan orang tua mereka. Transisi menuju
masa dewasa kadang-kadang membawa pergolakan atau kekacauan, tidak hanya
menyangkut hubungan remaja dengan orangtua mereka tetapi pada semua hubungan
sosial (Sprintall dan Collins, 1995).
Para ahli ilmu sosial yang meneliti masa remaja, pada umumnya membedakan
masa remaja menjadi : masa remaja awal, yang mencakup suatu periode dari usia 11
tahun sampai usia 14 tahun; masa remaja pertengahan, dari usia sekira 15 tahun sampai
usia 18 tahun; dan masa remaja akhir (yang kadang-kadang dikenal sebagai “masa
muda”), dari usia 18 tahun sampai usia 21 tahun (Kagan dan Coles, 1972; Keniston,
1970; Lipsittz, 1977; dalam Steinberg, 1993:5).
Selama masa remaja awal, remaja sensitif dengan umpan balik dari orang lain
mengenai siapa mereka sebagai individu. Masa remaja awal ditandai dengan
pertumbuhan dan perkembangan fisik yang demikian pesat, sehingga pada masa ini
pembentukan konsep diri terpusat pada penerimaan fisik. Masa remaja awal ini dapat
dilihat sebagai destructuring, yaitu tidak adanya perencanaan dan pengaturan, dimana
hasil-hasil kognitif, psikososial, dan fisiologis sebelumnya mengalami transisi menjadi
bentuk pra dewasa.
Pada masa remaja pertengahan, remaja mulai mengembangkan cara berpikir yang
baru, dimana mereka mulai mempersiapkan diri dengan peran-peran orang dewasa dan
membuat keputusan awal mengenai tujuan bidang keahlian. Masa remaja pertengahan ini
dianggap sebagai masa perencanaan dan pengaturan kembali (restructuring), dimana
terjadi pengaturan kembali (keterampilan-keterampilan lama dan baru). Remaja
pertengahan berkembang lebih matang daripada remaja awal, dan berpandangan realistik
terhadap orangtua mereka sebagai seseorang yang memiliki keahlian, bakat, dan
kemampuan khusus, yang patut mereka hormati tetapi juga sebagai seseorang yang dapat
membuat kesalahan. Dalam usaha mencapai otonomi psikologis, remaja merevisi
pandangan mereka mengenai orangtua dan mengembangkan ide-ide pribadi (Dacey dan
Kenny, 1997). Kemudian, selama masa remaja pertengahan, remaja semakin menjadi
peduli dengan pendapat dan pengharapan orang-orang yang berarti bagi mereka. Selama
masa ini, mereka memiliki kesulitan-kesulitan mengkonsolidasikan semua informasi
yang mereka terima mengenai dirinya.
Sedangkan pada masa remaja akhir dipandang sebagai masa konsolidasi. Pada
masa remaja akhir ini, remaja mulai mengkonsolidasikan persepsi mereka tentang diri
dan menginternalisasikan beberapa nilai yang pada mulanya telah disosialisasikan oleh
orang lain yang signifikan. Masa komposisi identitas yang dapat dilihat dengan jelas dan
ditandai oleh selesainya persiapan peran-peran orang dewasa (Saomah, 2006:15).
Selanjutnya Steinberg (1993:6) mencatat adanya tiga set perubahan, sebagai
perubahan-perubahan mendasar pada masa remaja, yakni perubahan biologis, kognitif,
dan sosial. Perubahan-perubahan tersebut berlaku secara universal, tanpa kecuali, dan
pada semua remaja di setiap masyarakat. Artinya bahwa remaja berasal dari kebudayaan
manapun, mereka akan mengalami ketiga jenis perubahan yang menyangkut perubahan
biologis, kognitif, dan sosial.
Elemen-elemen utama dari perubahan-perubahan biologis masa remaja, yang juga
menunjuk kepada pubertas, meliputi perubahan-perubahan yang nampak pada fisik anak
muda dengan terjadinya kematangan alat-alat seksual dan pencapaian kemampuan
reproduktif, yakni suatu kemampuan remaja untuk memberikan keturunan (Brooks-Gunn
dan Reiter, 1990 dalam Steinberg, 1993:7). Gambaran diri para remaja, mungkin untuk
sementara waktu dapat terancam oleh tanda perubahan-perubahan yang nampak pada
fisik. Hubungan-hubungan di dalam keluarga ditransformasikan dengan kebutuhan para
remaja yang lebih luas terhadap privasi dan dengan minat-minat mereka dalam
membentuk hubungan intim dengan teman-teman sebaya (Steinberg, 1993:8).
Perubahan kognitif para remaja pada umumnya ditunjukkan oleh proses-proses
yang mendasari bagaimana seseorang berfikir tentang sesuatu. Daya ingatan dan
pemecahan masalah merupakan dua contoh dari proses-proses kognitif. Munculnya
kemampuan berfikir yang lebih berpengalaman merupakan salah satu dari berbagai
perubahan mencolok yang terjadi pada masa remaja. Dibandingkan dengan masa anakanak,
para remaja dapat berpikir jauh lebih baik tentang situasi-situasi hipotetis dan dapat
berpikir jauh lebih baik tentang konsep-konsep abstrak, seperti persahabatan, demokrasi,
atau moralitas (Keating, 1990 dalam Steinberg, 1993:8). Artinya, kemampuan untuk
berpikir lebih cakap di dalam pola-pola hipotetis dan abstrak berpengaruh pada cara para
remaja berpikir tentang dirinya sendiri, hubungan sosial, dan dunia di sekitar mereka.
Perubahan sosial ditandai dengan terjadinya perubahan peran sosial yang sesuai
dengan peran sebagai orang dewasa; sesuai dengan harapan dan tuntutan masyarakat.
Pada masa ini seorang remaja sudah mampu mengembangkan hubungan baru dengan
lawan jenis, dan memasuki peran-peran yang ada dalam kehidupan masyarakat.
Perubahan-perubahan dalam hukum atau kebenaran, hak-hak, dan tanggungjawab,
merupakan tiga set perubahan mendasar yang terjadi pada masa remaja, yang tercakup ke
dalam perubahan-perubahan sosial (Ford dan Beach, 1951, dalam Steinberg, 1993:9).
Perubahan-perubahan yang terjadi selama masa remaja akan memberi pengaruh
pada berbagai aspek kehidupan remaja, seperti: emosi, cara remaja memandang dirinya
dan cara orang lain memandang remaja, pendidikan, nilai-nilai yang dianut, moral, agama,
pilihan pekerjaan, persiapan kehidupan perkawinan, penggunaan waktu luang, dan peranperan
sosial. Lebih daripada itu, perubahan-perubahan ini juga berpengaruh pada
kehidupan remaja yang lebih luas, yaitu mencakup harapan-harapan baru pada remaja
akan peran dan tanggungjawab sebagai masyarakat, dan pengambilan keputusan bagi
dirinya sendiri. Dengan kata lain, bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada masa
remaja akan dapat mendorong remaja menjadi lebih bebas, yakni mampu menjadi remaja
yang mandiri.
2. Kemandirian Remaja
Istilah “autonomy” dalam kajian mengenai remaja sering disejajarartikan secara
silih berganti dengan kata “independence”, meskipun sesungguhnya ada perbedaan yang
sangat tipis diantara keduanya (Steinberg, 1993:286). Independence, “secara umum
menunjuk pada kemampuan individu untuk ‘menjalankan’ atau ‘melakukan sendiri’
aktivitas hidup terlepas dari pengaruh kontrol orang lain”. Sedangkan istilah autonomy =
otonomi, swatantra (Kamus Inggris Indonesia) berarti kemampuan untuk memerintah
sendiri, mengurus sendiri, atau mengatur kepentingan sendiri (Steinberg, 1993:286).
Istilah “otonomi” seringkali dianggap sama dengan kemandirian. Individu yang
otonom adalah individu yang mandiri, tidak mengandalkan bantuan atau dukungan orang
lain, kompeten, dan bebas bertindak (Widjaja, 1986). Lebih lanjut dijelaskan bahwa
istilah “kemandirian” menunjukkan pada adanya kepercayaan akan kemampuan diri
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tanpa bantuan khusus dari orang lain,
keengganan untuk dikontrol orang lain, dapat melakukan sendiri kegiatan-kegiatan dan
menyelesaikan sendiri masalah yang dihadapi. Heathers (Widjaja, 1986), mengemukakan
bahwa di samping kepercayaan akan kemampuan diri, dalam kemandirian juga ada unsur
ketegasan diri dalam bentuk kebutuhan untuk menguasai tugas-tugas yang diberikan.
Dari pandangan-pandangan di atas, dapat dipahami bahwa kemandirian tidak
persis identik dengan otonomi, melainkan lebih luas cakupannya. Menurut beberapa ahli,
“kemandirian” menunjuk pada kemampuan psikososial yang mencakup kebebasan untuk
bertindak, tidak tergantung kepada orang lain, tidak terpengaruh lingkungan, dan bebas
mengatur kebutuhan sendiri (Lerner, 1976), penampilan keputusan pribadi yang didasari
pengetahuan lengkap tentang konsekuensi berbagai tindakan serta keberanian menerima
konsekuensi dari tindakannya tersebut (Lamb, 1996), kebebasan untuk mengambil
inisiatif, mengatasi hambatan, melakukan sesuatu dengan tepat, gigih dalam usaha, dan
melakukan sendiri segala sesuatu tanpa bantuan orang lain (Watson dan Lindgren, 1973),
aktivitas perilaku yang terarah pada diri sendiri, tidak mengharapkan pengarahan dari
orang lain, dan mencoba memecahkan atau menyelesaikan masalah sendiri tanpa minta
bantuan kepada orang lain, dan mampu mengatur diri sendiri (Bathia, 1977).
Dalam kajian ini digunakan istilah kemandirian yang merujuk pada konsep
Steinberg (1993) yang dalam tulisannya menggunakan istilah autonomy, yaitu
kemandirian untuk bertindak, tidak tergantung pada orang lain. Individu yang otonomous
adalah pribadi yang mandiri (Steinberg: 1993: 286). Kemandirian merupakan hal yang
penting untuk dimiliki remaja dan merupakan salah satu tugas perkembangannya dalam
menuju kedewasaan. Lebih lanjut Steinberg (1993: 283) mengatakan bahwa,
“ For most adolescents, establishing a sense of autonomy is as important a part of
becoming an adult as is establishing a sense of identity. Becoming an autonomous
person – a self governing person – is one of the fundamental developmental tasks
of the adolescent years”.
Steinberg (1993:288) mengemukakan pendapat yang didasari teori Anna Freud
(1958), bahwa kemandirian adalah permasalahan sepanjang rentang kehidupan, tetapi
perkembangan kemandirian sangat dipengaruhi oleh perubahan fisik yang dapat memacu
perubahan emosional, perubahan kognitif yang memberikan pemikiran logis tentang cara
berpikir yang mendasari tingkah laku dan juga perubahan nilai dalam peran sosial serta
aktivitas remaja pada periode ini. Steinberg (1993:288) memunculkan tiga jenis
kemandirian remaja, yaitu kemandirian emosional, kemandirian tingkah laku dan
kemandirian nilai sebagai dasar pencapaian kemandirian remaja. Dengan bertambahnya
usia remaja, maka kemandirian tersebut berkembang secara berurutan mulai dari
kemandirian emosional, kemandirian tingkah laku dan kemandirian nilai.
Steinberg (1993:289) menjelaskan karakteristik ketiga tipe kemandirian tersebut
adalah sebagai berikut: kemandirian emosional merupakan aspek kemandirian yang
berhubungan dengan perubahan kedekatan hubungan emosional antar individu, seperti
hubungan emosional dengan orangtuanya. Kemandirian tingkah laku ialah suatu
kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan tanpa tergantung pada orang lain dan
melakukannya secara bertanggungjawab. Sedangkan kemandirian nilai adalah
kemampuan memaknai seperangkat prinsip tentang benar dan salah, tentang apa yang
penting dan apa yang tidak penting.
2.1. Kemandirian Emosional (Emotional Autonomy)
Pengertian kemandirian emosional menurut Steinberg (1993:289) adalah aspek
kemandirian yang menyatakan perubahan kedekatan hubungan emosional antar individu,
seperti hubungan emosional antara remaja dengan ibunya dan hubungan emosional antara
remaja dengan ayahnya. Kemandirian emosi menunjuk kepada pengertian yang
dikembangkan remaja mengenai individuasi dan melepaskan diri atas ketergantungan
mereka dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar dari orang tua mereka (Steinberg
& Silverberg, 1986; dalam Sprinthall & Collins, 1995).
Kemandirian emosional merupakan hal penting dan menonjol pada masa remaja,
namun bukan merupakan kejadian tiba-tiba (spontaneous) yang dialami oleh remaja.
Kemandirian emosional remaja berkembang sejak awal kehidupan di masa anak-anak
melalui proses sosialisasi dalam lingkungan keluarga.
Steinberg (1993:289), menyatakan bahwa menjelang akhir masa remaja, individuindividu
secara emosional tidak begitu tergantung pada orangtua mereka “lebih mandiri
secara emosi” daripada ketika mereka masih anak-anak. Kita dapat melihatnya melalui
berbagai cara. Pertama, para remaja umumnya tidak cepat-cepat atau serta merta
menyampaikan perasaan mereka pada orangtuanya jika mereka marah, sedih, atau jika
memerlukan bantuan. Kedua, mereka tidak memandang orangtua mereka sebagai orang
yang mengetahui segalanya (all-knowing) atau menguasai segalanya (all-powerful).
Ketiga, para remaja seringkali mempunyai perasaan yang kuat untuk menyelesaikan
masalah dalam hubungan-hubungan di luar keluarga; mereka mempunyai perasaan yang
lebih dekat dengan teman laki-laki atau teman gadis daripada dengan orangtua mereka.
Terakhir, para remaja mampu untuk melihat dan berinteraksi dengan orangtua mereka
seperti dengan orang lain, tidak seperti dengan orangtua sendiri.
Steinberg dan ahli-ahli lainnya memandang proses perubahan hubungan itu
sebagai proses transformasi. Menurut mereka, meskipun para remaja dan orangtua
mengubah hubungan emosional yang terbentuk pada masa anak-anaknya, namun ikatanikatan
perasaan (emosional) mereka pada masa remaja, bagaimanapun tidak akan putus.
Ini merupakan sebuah keistimewaan penting, karena ini berarti bahwa kemandirian
emosional pada masa remaja itu mengalami transformasi, bukan pemutusan hubungan
keluarga. Remaja memperoleh kemandirian secara emosional dari orangtua mereka tanpa
timbul pemutusan hubungan diantara mereka (Collins, 1990; Hill & Holmbeck, 1986;
Steinberg, 1990, dalam Steinberg, 1993:290).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perkembangan kemandirian emosional,
di mulai pada masa remaja awal dan berlanjut dengan baik hingga mencapai puncaknya
menjelang akhir masa remaja. Kemandirian emosional menunjukkan aspek kemandirian
yang berhubungan dengan keterikatan hubungan emosional dengan orangtuanya. Dalam
penelitian Steinberg dan Silverberg, (1986), membagi kemandirian emosional menjadi
empat komponen, yaitu: (1) de-idealized yaitu remaja mampu memandang orangtuanya
sebagaimana adanya, maksudnya tidak memandangnya sebagai orang yang idealis dan
sempurna, (2) parent as people yaitu remaja mampu memandang orangtua mereka seperti
orang dewasa lainnya, (3) non dependency, atau suatu tingkat dimana remaja lebih
bersandar pada kemampuan dirinya sendiri, daripada membutuhkan bantuan pada
orangtua mereka, (4) suatu tingkat dimana remaja merasa “individuated” mampu dan
memiliki kelebihan secara pribadi untuk mengatasi masalah didalam hubungannya
dengan orang tua.
Sesungguhnya tidaklah mudah bagi remaja untuk menempuh keempat proses
tersebut. Bayangan masa kecil remaja tentang kehebatan orangtua tidak begitu mudah
untuk diabaikan atau dikritik. Juga tidak mudah bagi remaja untuk menempatkan orang
tua yang telah sedemikian besar jasanya sebagai seseorang (as person) sebagaimana
lazimnya orang lain (Smollar & Youniss, 1985, dalam Steinberg, 1993: 292). Proses
individuasi juga tidak selalu berlangsung dengan mulus. Beberapa penulis menegaskan
bahwa sejak remaja melakukan de-idealized terhadap orang tuanya, mereka mungkin
merasa lebih mandiri, namun juga muncul rasa tidak aman (Frank, et. al., 1990, dalam
Steinberg, 1993: 293). Dalam kaitan ini, Steinberg (1993:293) menegaskan bahwa, :
“Emotional autonomy develops best under conditions that encourage both individuation
and emotional closeness”. Kemandirian emosi dapat berkembang dengan sangat baik di
bawah kondisi yang mendorong kedekatan emosi dan individuasi.
2.2. Kemandirian Perilaku
Kemandirian perilaku berarti “bebas” untuk berbuat atau bertindak sendiri tanpa
terlalu bergantung pada bimbingan orang lain. Kemandirian tindakan atau perilaku
menunjuk kepada “kemampuan seseorang melakukan aktivitas, sebagai manifestasi dari
berfungsinya kebebasan dengan jelas, menyangkut peraturan-peraturan yang wajar
mengenai perilaku dan pengambilan keputusan dari seseorang (Sessa & Steinberg, 1991,
dalam Sprinthall & Collinns, 1995). Kemandirian perilaku, khususnya kemampuan
kemandirian secara fisik sebenarnya sudah dimiliki sejak usia anak (Widjaja, 1986), dan
akan mengalami peningkatan yang sangat pesat sepanjang usia remaja. Peningkatan itu
bahkan nampak lebih drastis daripada peningkatan kemandirian emosional.
Kemandirian perilaku mencakup kemampuan untuk meminta pendapat orang lain
jika diperlukan, menimbang berbagai pilihan yang ada dan pada akhirnya mampu
mengambil kesimpulan untuk suatu keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan, tetapi
bukan berarti lepas dari pengaruh orang lain, seperti pernyataan Hill dan Holmbeck,
(1986) yang dikutip Steinberg, (1993: 296) sebagai berikut: “ … behaviorally
autonomous is able to turn to others for advice when it is appropriate, weigh alternative
courses of action based on his or her own judgment and the suggestions of others, and
reach an independent conclusion about how to behave”.
Steinberg, (1993: 296) menyatakan bahwa para peneliti melihat ada tiga domain
kemandirian perilaku pada remaja, yaitu: (1) changes in decision-making abilities yaitu
perubahan dalam kemampuan untuk mengambil keputusan, dengan indikator meliputi:
(a) remaja menyadari resiko yang timbul dari keputusannya; (b) remaja menyadari
konsekuensi yang muncul kemudian; (c) remaja dapat menentukan dengan siapa akan
berkonsultasi sesuai dengan masalah yang dihadapinya; (d) remaja dapat merubah
pendapatnya karena ada informasi baru yang dianggap sesuai; (e) remaja menghargai dan
berhati-hati terhadap saran yang diterimanya; (2) changes in compormity and
susceptibility to the influence of other yaitu perubahan remaja dalam penyesuaian dan
kerentanan terhadap pengaruh-pengaruh dari luar, dengan indikator meliputi: (a) remaja
mampu mempertimbangkan alternatif dari tindakannya secara bertanggung jawab; (b)
remaja mengetahui secara tepat kapan harus meminta saran dari orang lain; (3) changes
in feelings of self-reliance yaitu perubahan dalam rasa percaya diri, dengan indikator
meliputi: (a) remaja mencapai kesimpulan dengan rasa percaya diri; (b) remaja mampu
mengekspresikan rasa percaya diri dalam tindakan-tindakannya.
Domain kedua, yaitu changes in conformity and susceptibility to influence,
dimana remaja mengalami perubahan dalam penyesuaian dan kerentanan terhadap
pengaruh dari luar. Remaja akan melewatkan lebih banyak waktu di luar keluarga,
pendapat dan nasihat dari kelompok sebayanya menjadi lebih penting, “ a variety of
situations arise in which adolescents may feel that their parents advice may be less valid
than the opinions of others” (Steinberg, 1993: 298). Ketika pendapat teman-teman dan
orang tuanya tidak sepaham, remaja harus merekonsiliasi perbedaan pendapat tersebut
dan mencari jawaban sendiri untuk kemudian menyimpulkan sendiri.
Munculnya tekanan-tekanan kelompok sebaya (peer-presure) sering membuat
remaja menjadi amat rentan terhadap pengaruh-pengaruh mereka. Dalam
membandingkan pengaruh-pengaruh orangtua dan teman sebaya terhadap kemandirian
perilaku pada remaja, beberapa peneliti menemukan bahwa dalam beberapa situasi, opiniopini
teman sebaya lebih berpengaruh terutama apabila menyangkut keputusan-keputusan
jangka pendek, dan masalah-masalah sosial seperti mode pakaian, selera musik, pilihan
aktivitas waktu luang, dan lain-lain, akan tetapi apabila menyangkut keputusan jangka
panjang yang berkaitan dengan rencana pendidikan dan karir atau masalah-masalah nilai,
keyakinan agama, dan etika, biasanya remaja mengutamakan pengaruh-pengaruh
orangtua (Steinberg, 1993:299). Hasil penelitian ini juga didukung oleh penemuan Wintre,
et al, (1988) bahwa tekanan teman-teman sebaya ataupun tekanan orang tua akan
mendominasi pada keadaan tertentu sesuai dengan masalah-masalah antar teman
sebayanya atau masalah dengan orangtuanya (Steinberg, 1993:299). Remaja yang
memiliki kemandirian perilaku mampu membedakan pengaruh-pengaruh tersebut dan
dengan sarana kognitifnya mereka dapat menentukan ke arah mana mereka memihak atau
bersikap (Berndt, 1979, dalam Steinberg, 1993:300).
Domain ketiga kemandirian perilaku difokuskan kepada pertimbangan diri remaja
terhadap bagaimana kemandirian mereka. Ini berhubungan dengan adanya perubahanperubahan
dalam perasaan kepercayaan diri (Changes in feelings of self reliance) remaja.
Selama periode ini, remaja memperoleh kepercayaan diri pada saat kerentanan terhadap
tekanan kelompok bertambah, tetapi mereka tidak menyadarinya dan mungkin tidak
melihat dalam perilaku mereka sendiri.
2.3. Kemandirian Nilai
Ahli psikologi (Douvan & Adelson, 1966, dalam Sprinthall & Collins, 1995)
menyebutkan, kemandirian nilai menunjuk kepada suatu pengertian mengenai
kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan-keputusan dan menetapkan pilihan
yang lebih berpegang atas dasar prinsip-prinsip individual yang dimilikinya, daripada
mengambil prinsip-prinsip dari orang lain. Dengan kata lain bahwa kemandirian nilai
menggambarkan kemampuan remaja untuk mendukung atau menolak tekanan,
permintaan maupun ajakan orang lain; dalam arti ia memiliki seperangkat prinsip tentang
benar atau salah, tentang apa yang penting dan tidak penting.
Steinberg, (1993 : 303-304) menjelaskan bahwa perkembangan kemandirian nilai
sepanjang remaja ditandai oleh tiga aspek, yaitu: pertama, cara remaja dalam memikirkan
segala sesuatu menjadi semakin bertambah abstrak (abstract belief); kedua, keyakinankeyakinan
remaja menjadi semakin bertambah mengakar pada prinsip-prinsip umum
yang memiliki beberapa dasar ideologi (principled belief); dan ketiga, keyakinankeyakinan
remaja akan nilai menjadi semakin terbentuk dalam diri mereka sendiri dan
bukan hanya dalam sistem nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau orang dewasa lain
(independent belief).
Sebagian besar perkembangan kemandirian nilai dapat ditelusuri pada
karakteristik perubahan kognitif. Dengan meningkatnya kemampuan rasionalisasi dan
makin berkembangnya kemampuan berpikir hipotetis remaja, maka timbul minat-minat
mereka pada bidang ideologi dan filosofi dan cara mereka melihat persoalan-persoalan
itu menjadi semakin mendetail dan berpengalaman. Kemampuan untuk
mempertimbangkan kemungkinan alternatif dan menggunakannya dalam berpikir
menurut pendapatnya, memberi peluang untuk bereksplorasi di sekitar sistem nilai,
ideologis politik, etika pribadi dan keyakinan agama yang berbeda (Steinberg, 1993 :
304).
Diantara ketiga komponen kemandirian, maka kemandirian nilai merupakan
proses yang paling kompleks, tidak jelas bagaimana proses berlangsung dan
pencapaiannya, terjadi melalui proses internalisasi yang lazimnya tidak disadari, dan
umumnya berkembang paling akhir dan paling sulit dicapai secara sempurna dibanding
kedua komponen kemandirian lainnya. Hasil pemikiran Konopka yang dikutip Pikunas
(1976:274) tentang teori perkembangan nilai yang memandang masa remaja sebagai fase
yang sangat penting bagi pembentukan nilai (value formation). Pembentukan nilai ini
merupakan suatu proses emosional dan intelektual paling tinggi yang dipengaruhi oleh
interaksi manusiawi.
Hal senada dijelaskan oleh Steinberg (1993:304), bahwa perkembangan
kemandirian nilai mempersyaratkan perkembangan kebebasan emosi dan perilaku yang
memadai. Seperti yang kita lihat dalam suatu kesempatan, ada beberapa bukti bahwa
perkembangan kemandirian nilai berlangsung belakangan daripada perkembangan
kemandirian emosi dan kemandirian perilaku, yang mana berlangsung selama masa
remaja awal dan remaja pertengahan. Remaja yang telah mencapai kebebasan emosi yang
meningkat dari masa anak, mereka kurang menyadarkan diri pada keyakinan-keyakinan
dan nilai-nilai orang tua. Penegakan kemandirian emosi memperlengkapi kemampuan
remaja untuk melihat secara lebih objektif pada pandangan-pandangan orang tua mereka.
Ketika remaja tidak terlampau melihat orang tua mereka sebagai otoritas kuasa dan
sempurna; mereka mungkin secara serius mengevaluasi kembali ide-ide dan nilai-nilai
yang mereka telah terima tanpa pertanyaan ketika masa anak.
Karakteristik kemandirian nilai meliputi: (1) perubahan remaja dalam cara
berpikir, dengan indikator: (a) remaja mampu mengintegrasikan nilai-nilai yang
bertentangan; (b) remaja mempedulikan kesamaan hak; (c) remaja mempedulikan makna
keadilan yang terjadi di lingkungannya; (2) perubahan remaja pada keyakinannya,
dengan indikator: (a) keyakinan remaja semakin berakar pada prinsip-prinsip yang
berlaku pada masyarakat universal; (b) remaja memiliki prinsip-prinsip yang terbentuk
sesuai dengan sistem nilai yang diperolehnya.
Steinberg (1993: 303) menguraikan bahwa perkembangan kemandirian nilai
membawa perubahan-perubahan pada konsepsi-konsepsi remaja tentang moral, politik,
ideologi dan persoalan-persoalan agama. Keterhubungan diantara konsep-konsep tersebut,
menjadi terintegrasi dalam perkembangan nilai. Nilai merupakan tatanan tertentu atau
kriteria di dalam diri individu yang dijadikan dasar untuk mengevaluasi suatu sistem.
Moral merupakan tatanan perilaku yang memuat nilai-nilai tertentu untuk dilakukan
individu dalam hubungannya dengan individu, kelompok, atau masyarakat. Karenanya
sistem nilai mengarah pada pembentukan nilai-nilai moral tertentu dan selanjutnya akan
menentukan sikap individu berhubungan dengan objek nilai dan moral tersebut.
3. Kondisi-kondisi yang Mempengaruhi Kemandirian Remaja
Kondisi-kondisi atau faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian remaja dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Kecerdasan
Blair yang dikutip Gilmore (1974) menyatakan bahwa inteligensi seseorang
berhubungan dengan tingkat kemandiriannya, artinya semakin tinggi tingkat
kecerdasannya semakin tinggi pula tingkat kemandiriannya. Gilmore melakukan
penelitian pada anak cerdas dan kurang cerdas, ditemukan bahwa anak yang cerdas lebih
berperilaku mandiri dibandingkan anak yang kurang cerdas. Hasil penelitian Hidayat
(1995) pada mahasiswa FIP IKIP Malang menemukan adanya hubungan yang signifikan
antara inteligensi dengan kemandirian meskipun angka korelasinya tidak terlalu tinggi,
yaitu r = .281
Perubahan intelektual dan kognisi yang terjadi selama masa remaja, mendukung
pertumbuhan yang menuju kemandirian emosional dan pengendalian diri. Perubahan
kemampuan berfikir dalam perspektif yang lebih luas, membuat remaja menjadi lebih
baik dalam pengambilan keputusan. Demikian pula tanggung jawab dan kesempatan
sosial yang mengikuti masa remaja, membutuhkan dukungan dari pengaturan diri
(Steinberg, 1993:1).
2. Jenis Kelamin
Hasil penelitian Alfredo Oliva (2000:3) menemukan bahwa terdapat peningkatan
kemandirian emosional yang signifikan pada remaja laki-laki saja, di sepanjang masa
awal dan akhir masa remaja. Sedangkan nilai kemandirian emosional pada remaja
perempuan hampir sama pada semua kelompok umur remaja. Beberapa hasil penelitian,
menurut Steinberg (1993: 144-145) memperlihatkan bahwa tidak banyak pengaruh dari
perbedaan jenis kelamin terhadap perkembangan kemandirian emosional remaja.
Berkaitan dengan kemandirian perilaku, penelitian yang dilakukan (Greenberger, 1982;
Steinberg dan Silverberg, 1986) menunjukkan bahwa, “ subjective feelings of autonomy
increase steadily over the adolescent year and, contrary to stereotypes, that adolescent
girls report feeling more self-reliant than adolescent boys” (Steinberg, 1993: 302).
Adanya hasil penelitian tersebut di atas, memberikan implikasi kemungkinan adanya
perbedaan budaya dalam perlakuan terhadap remaja perempuan dan remaja laki-laki yang
mempengaruhi perkembangan kemandirian emosional dan perilaku.
3. Pola Asuh Orang Tua
Dari beberapa variabel yang berpengaruh terhadap perkembangan kemandirian
remaja, variabel orangtua dipandang sebagai faktor yang paling berpengaruh. Pandangan
ini dilandasi pendapat yang menyatakan “Although many social factors and groups affect
the process of socialization, the family is frequently regarded as the most influential
agency in the socialization of the child” (Hetherington & Parke, 1993:419). Pendapat
yang sama dikemukakan Lamborn dan Steinberg (1993); Fuhrman dan Holmbeck (1993),
bahwa perkembangan kemandirian serta penyesuaian psikososial remaja dalam konteks
yang lebih luas dipengaruhi oleh hubungan remaja itu sendiri dengan orang tuanya.
Orang tua dengan menerapkan pola pengasuhan kepada remaja melalui interaksi
orangtua-remaja, telah meletakkan dasar-dasar pola sikap dan perilaku pada remaja.
Hasil penelitian Baumrind, (1975) yang dikutip Conger (1977:226) menunjukkan
bahwa remaja yang memiliki kemandirian tinggi berasal dari keluarga yang menerapkan
pola pengasuhan authoritative, dimana orangtua mengharapkan tanggungjawab terakhir
tetap pada anak remajanya dalam batas-batas rasional. Hal ini juga didukung hasil
penelitian Hana Widjaja (1986), yang menemukan adanya hubungan antara pengasuhan
anak dengan ketergantungan-kemandirian; Lieke J. Wisnubrata (1992) juga menemukan
adanya hubungan antara pola asuh orangtua dengan motif prososial remaja; selain itu
penelitian I Nyoman Karma (2002) mengenai pola asuh orangtua dengan kemandirian
remaja, lebih jelas menyatakan bahwa pola pengasuhan yang hangat, tetapi tegas
(authoritative) sangat erat hubungannya dengan perkembangan kemandirian remaja,
dibandingkan hubungan dengan pola asuh lainnya (permisif, dan authoritatian). Berbagai
hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa tampaknya pola pengasuhan yang
hangat dalam memperlakukan remaja sehari-hari, tetapi tegas dalam memegang aturan
yang telah disepakati bersama sangat mendukung perkembangan psikososial remaja,
termasuk perkembangan kemandirian emosional remaja.
4. Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan Orangtua
Orang yang paling dekat atau paling sering berhubungan dengan anak di dalam
keluarga pada umumnya adalah ibu, sehingga sikap ibu merupakan faktor yang penting
dalam perkembangan anak. Tingkat pendidikan ibu akan mempengaruhi sikap dan
tingkah lakunya dalam menghadapi anak-anaknya, artinya ibu yang berpendidikan akan
bersikap lebih baik (Watson, 1967). Conger (1977) menyatakan bahwa perlakuan yang
diberikan orangtua berpengaruh terhadap kemandirian anak-anaknya. Penelitian Widjaja
(1986) menemukan bahwa faktor pendidikan ibu berperan dalam pembentukan
kemandirian pada anak, dalam arti semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, maka ia akan
lebih mendorong kemandirian anak sehingga anak menjadi lebih mandiri. Steinberg
(1993:286) menjelaskan bahwa dengan meningkatnya peran orangtua tunggal ataupun
peran orangtua yang keduanya berkarir dalam satu rumah tangga, mengakibatkan
orangtua sangat mengharapkan anak remajanya untuk menjadi lebih mandiri sepanjang
hari.
5. Jumlah Anggota Keluarga
Urutan anak dalam keluarga dan jumlah saudara mempengaruhi kemandirian
emosional remaja, karena anak muda yang lebih tua dapat diberikan tanggungjawab lebih
banyak oleh orang tua (Steinberg, 1993:288). Penelitian Kidwell (1981) menemukan
bahwa besarnya jumlah anak dalam keluarga akan mengakibatkan semakin rendahnya
dukungan emosional yang diberikan orangtua terhadap anaknya. Menurut Hurlock (1997),
keluarga yang mempunyai kemungkinan paling besar untuk memperlakukan anakanaknya
secara demokratik adalah keluarga kecil (jumlah anak-anak kurang dari tiga).
Dalam keluarga yang jumlah anggotanya kecil, anak-anak mempunyai kesempatan besar
untuk dapat mengembangkan diri dan berprestasi.
6. Tekanan Kelompok (Sosial)
Remaja akan semakin sering menghabiskan waktunya di luar rumah, apalagi
dengan bertambahnya usia, remaja akan mencari pendapat dan saran dari orang lain
diluar orangtuanya. Pengaruh dari teman sebayanya akan semakin besar, di samping juga
pengaruh guru atau orang dewasa lainnya. Para ahli psikologi yang meneliti masalah
pengaruh orangtua dan teman-teman sebaya terhadap remaja menunjukkan bahwa remaja
dalam beberapa situasi, pendapat-pendapatnya akan lebih terpengaruh oleh teman atau
kelompok sebayanya bila menyangkut masalah-masalah sosial jangka pendek, seperti
aktivitas sehari-hari, cara berpenampilan, selera musik, dan sebagainya. Akan tetapi
ketika menghadapi masalah yang lebih serius menyangkut masa depan seperti pendidikan,
rencana kerja, etika, dan agama, maka pengaruh orangtua akan lebih besar (Brittain,
1963; Young & Ferguson, 1979, dalam Steinberg 1993:299). Hasil penelitian ini juga
didukung oleh penemuan Wintre, McVee, Hick and Fox, (1988) bahwa tekanan temanteman
sebaya ataupun tekanan orang tua akan mendominasi pada keadaan tertentu sesuai
dengan masalah-masalah antar teman sebayanya atau masalah dengan orangtuanya
(Steinberg, 1993:299). Hal ini diperjelas dengan hasil penelitian yang dilakukan Krasner
& Ullman, (1973:373) bahwa pengaruh kelompok sebaya pada remaja tergantung pada
sikap dan aktivitas yang berlaku di dalam kelompok sebaya itu. Bila norma kelompok
menekankan pada prestasi akademik, maka anggota melakukannya menurut norma itu.
4. Perkembangan Kemandirian Remaja Tunarungu
Kemandirian merupakan tugas perkembangan yang harus dicapai oleh setiap
individu, namun demikian sukar ditentukan secara pasti kapan perilaku mandiri secara
penuh dapat dicapai (Berzonsky, 1984); bahkan Libert et al (dalam Masrun, 1986)
berpendapat bahwa perilaku mandiri tidak mungkin dapat dicapai secara maksimal. Hal
ini dikarenakan semenjak lahir individu hidup dalam masyarakat yang mempunyai norma
sosial yang mengatur dan membatasi perilaku seseorang (Masrun, 1986). Sejalan dengan
itu Gilmor (1974) mengemukakan bahwa dalam kenyataannya karena manusia itu
merupakan mahluk sosial, maka pribadinya akan selalu berinteraksi dengan
lingkungannya. Selama manusia itu berhubungan dengan manusia lain, maka
kenyataannya tidak ada orang yang betul-betul mandiri secara mutlak.
Adanya gangguan atau hambatan pada individu tunarungu membawa berbagai
dampak terhadap perkembangan mereka, sehingga hambatan-hambatan tersebut
memunculkan karakteristik-karakteristik perkembangan sebagai berikut yaitu
perkembangan bahasa dan bicara, intelegensi, penyesuaian sosial, emosi dan pribadi,
yang berbeda dengan individu mendengar pada umumnya. Hambatan tersebut akan
mempengaruhi totalitas dan kualitas eksistensi dia sebagai manusia yang memiliki
tanggungjawab didalam melewati tugas perkembangannya. Permasalahan perkembangan
pribadi tunarungu yang sangat kompleks tersebut, tidak berarti bahwa pencapaian tugas
perkembangan mereka menuju kemandirian menjadi tidak optimal. Hasil penelitian Heni
Hiyaroh (2002) menunjukkan bahwa penguasaan tugas perkembangan pada remaja
tunarungu umumnya telah tercapai meskipun hanya di lingkungan yang mempunyai
karakteristik yang sama dengan remaja tunarungu. Untuk itu akan ada kebutuhankebutuhan
dan kondisi-kondisi tertentu sebagai bentuk intervensi yang akan membawa
remaja tunarungu dapat mencapai tugas perkembangan kemandirian yang optimal.
Hubungan antara anak dan orang tua berubah dengan sangat cepat, terutama sekali
setelah anak memasuki masa remaja. Seiring dengan semakin mandirinya anak dalam
mengurus dirinya sendiri pada pertengahan masa kanak-kanak, misalnya, maka waktu
yang diluangkan oleh orang tua untuk anak mereka semakin berkurang dengan sangat
tajam (Berk, 1994). Perubahan pengungkapan kasih sayang, meningkatnya
pendistribusian kewenangan dan tanggungjawab, dan merosotnya interaksi verbal dan
kesempatan duduk bersama antara anak dan orang tua, di satu sisi dan semakin
tenggelamnya remaja dalam pola-pola hubungan teman sebaya untuk menyelami dunia
kehidupan yang baru di luar keluarga di sisi lain, pada akhirnya akan mengendorkan
simpul-simpul ikatan emosional infantil anak dengan orang tua (Steinberg, 1993; Kimmel,
1985).
Perubahan kondisi atau situasi yang berlangsung selama proses perkembangan
kemandirian tersebut menuntut orangtua terutama orangtua remaja tunarungu untuk lebih
mampu menempatkan diri dan dapat meningkatkan kualitas emosi sosialnya dalam
memahami persoalan-persoalan yang muncul sebagai dampak dari kondisi anaknya.
Remaja tunarungu mempersepsi dan menilai sesuatu objek, fenomena, dan kejadian
berdasarkan pemaknaan yang dangkal dan tidak utuh sebagai akibat terhambatnya
kemampuan bahasa. Di samping itu juga mereka mengalami kesulitan untuk
mengekspresikan emosi sebagai wujud perasaan dirinya. Konsekuensi dari itu semua
adalah mungkin akan ada banyak pertentangan dan perbedaan cara pandang (persepsi)
yang terjadi antara orangtua dan anaknya terhadap persoalan atau permasalahan yang ada,
padahal tuntutan untuk mencapai kemandirian emosional membutuhkan adanya interaksi
emosional sebagai manifestasi diri mahluk sosial. Jika orangtua tidak dapat memenuhi
kebutuhan itu semua, akan mudah bagi remaja tunarungu untuk lebih berorientasi kepada
teman sebayanya yang mungkin secara positif belum tentu dapat memberikan apa yang
dia butuhkan. Apalagi pada diri remaja tunarungu mempunyai perasaan aman dan
diterima secara sosial jika mereka berada bersama-sama dengan teman-teman senasibnya.
Pada remaja tunarungu, kemampuan membuat keputusan tanpa tergantung kepada
orang lain dan dapat melakukannya secara bertanggungjawab sebagai ciri kemandirian
perilaku, dipengaruhi oleh kemampuan kognitif mereka dimana kemampuan tersebut
akan mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan yang menyangkut konsekuensi dari
keputusannya yang mungkin akan diwujudkan melalui perilaku-perilaku yang muncul.
Perilaku atau keputusan merupakan proses yang didasari atas hasil adaptasi (equilibrium)
yang sebelumnya melalui proses asimilasi berlanjut ke proses akomodasi yang biasa
terjadi dalam struktur kognitif seseorang. Apakah hambatan komunikasi pada individu
tunarungu yang berdampak terhadap terbatasnya penerimaan informasi atau pengetahuan
dari luar, membuat mereka menjadi terhambat dalam perkembangan berfikirnya sehingga
dapat menghasilkan keputusan atau perilaku yang bias. Apapun kenyataannya, kita patut
memperhatikan saran dari Furth (Moores, 1982) yaitu bahwa media yang paling tepat
untuk membantu perkembangan berfikir individu tunarungu bukanlah bahasa akan tetapi
pengalaman langsung dalam situasi nyata. Hal senada dikemukakan James (Moores,
1982) bahwa proses berfikir pada orang tunarungu telah berlangsung sebelum
kemampuan bahasa yang mereka miliki. Ini artinya adalah bahwa kemampuan proses
berpikir merupakan bekal awal dalam membantu kemampuan berbahasa seseorang dan
memberikan implikasi tentang bagaimana kita harus mengkondisikan situasi-situasi nyata
melalui pengalaman-pengalaman langsung sehingga dapat membantu perkembangan
berfikir remaja tunarungu dalam mengambil keputusan dan berperilaku yang
bertanggungjawab dengan didasarkan kepada pengalaman lahiriah dan batiniah mereka.
Dalam pengambilan keputusan seringkali remaja tunarungu lebih berorientasi
kepada hal-hal yang berlaku dalam kelompok sosialnya (teman-teman sebaya). Situasi
dan kondisi yang terjadi pada kelompok terdahulunya dapat mempengaruhi mereka
terutama dalam pemilihan sekolah dan pencarian pekerjaan, sehingga mereka tidak berani
untuk mencari hal-hal yang bersifat inovatif. Dari hasil penelitian yang dilakukan Denny
Purbandi (2006:98) tentang eksplorasi dan komitmen siswa tunarungu terhadap identitas
dalam program keterampilan, ditemukan bahwa siswa tunarungu mempunyai eksplorasi
yang terbatas dan membuat keputusan secara dini, tetapi mereka mempunyai keteguhan
pendirian atau komitmen terhadap keterampilan yang dipilihnya, untuk meneguhkan
keyakinannya, mereka mencari dan memilih temannya yang tunarungu yang sudah
bekerja untuk dijadikan figur. Temuan yang sama dilakukan (Aprilia, 2002:81), dimana
ada kecenderungan diantara sesama siswa tunarungu untuk lebih beroerientasi kepada
bidang pekerjaan yang sudah biasa dilakukan oleh kakak-kakak kelasnya yang sudah
bekerja. Dari hasil penelitian inipun terungkap bahwa dalam pengambilan keputusan
yang berkaitan dengan pemilihan pendidikan selanjutnya, mereka cenderung akan masuk
ke sekolah dimana ada teman tunarungunya, tanpa mempertimbangkan kemampuan dan
potensi dirinya (Aprilia, 2002:78).
Kemandirian nilai merupakan kelanjutan dari kemampuan kemandirian
sebelumnya, yaitu kemandirian emosional dan kemandirian perilaku, memiliki tingkat
kompleksitas yang tinggi yang berhubungan dengan prinsip nilai, etika, moral, dan
menuntut pemahaman yang sangat abstrak. Dalam kemandirian nilai ini, remaja dituntut
memiliki perubahan dalam cara berfikir, yaitu mampu mengintegrasikan nilai-nilai yang
bertentangan, dan perubahan pada keyakinan, yaitu memiliki prinsip-prinsip yang
terbentuk sesuai sistem nilai yang diperoleh. Disamping itu remaja dituntut memiliki
karakteristik perubahan kognitif, yaitu adanya peningkatan kemampuan rasionalisasi dan
berfikir hipotesis dimana prinsip-prinsip/nilai-nilai yang diyakininya itu dapat
terinternalisasi dan terintegrasi dalam dirinya yang diwujudkan melalui pengambilan
keputusan dan penetapan pilihan yang teraktualisasikan melalui perilaku yang sesuai
dengan norma dan etika yang ada.
Nilai merupakan sesuatu yang diyakini kebenarannya dan mendorong orang untuk
mewujudkannya. Nilai dipelajari dari produk sosial dan secara perlahan diinternalisasikan
oleh individu serta diterima sebagai milik bersama dengan kelompoknya. Remaja sebagai
individu maupun suatu komunitas masyarakat juga memiliki nilai-nilai sebagaimana
disebutkan di atas, karena salah satu karakteristik remaja yang berkaitan dengan nilai
adalah bahwa remaja sudah sangat merasakan pentingnya tata nilai dan mengembangkan
nilai-nilai baru yang sangat diperlukan sebagai pedoman atau petunjuk dalam mencari
jalannya sendiri untuk menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin
matang.
Bagi remaja tunarungu dan keberlangsungan komunitasnya, pencapaian tuntutantuntutan
tersebut di atas berjalan sebagaimana apa yang disepakati dalam kelompoknya,
dan masing-masing individu memiliki ketercapaian sendiri-sendiri berdasarkan
kemampuannya. Hanya saja ketika remaja tunarungu berada dalam komunitas
masyarakat sesungguhnya, pencapaian tuntutan akan dirasakan sangat sulit, karena
mereka kesulitan untuk memahami sistem nilai, moral dan etika yang kadang bersifat
abstrak, mereka harus dapat menginterpretasikan dan mengadaptasikan sistem nilai
tersebut sesuai dengan kemampuan kognitifnya. Hal ini diperkuat oleh pendapat
Myklebust (1953) yang dikutip Moores, (1982) yang menyatakan bahwa “individu
tunarungu sulit untuk melakukan fungsi perseptual dan konseptual yang sama luas
keabstrakannya, mereka dianggap lebih konkrit dan kurang abstrak bila dibandingkan
individu normal”. Walaupun begitu dalam membentuk nilai-nilai baru yang dapat
dilakukan dengan cara identifikasi dan imitasi terhadap tokoh atau model tertentu atau
bisa juga mengembangkan sendiri, remaja tunarungu dapat mengidentifikasi dan
mengorganisasikannya melalui perilaku-perilaku yang dapat diamati oleh mereka.
Bagi remaja tunarungu pemahaman norma, etika, dan sistem nilai harus dilakukan
secara terintegratif, melalui penjelasan secara khusus, perilaku nyata dan diberikan
pemahaman mengapa perilaku itu harus atau tidak boleh dilakukan, melatih dan
membiasakan siswa dalam berperilaku sosial yang sesuai dengan norma yang berlaku.
Apabila melanggar ada konsekuensi atau hukuman dan sebaliknya apabila ditaati atau
dijalankan akan mendapat pujian atau ganjaran (reward).
KESIMPULAN
Kemandirian adalah kemampuan untuk menguasai, mengatur, atau mengelola diri
sendiri. Remaja yang memiliki kemandirian ditandai oleh kemampuannya untuk tidak
tergantung secara emosional terhadap orang lain terutama orang tua, mampu mengambil
keputusan secara mandiri dan konsekuen terhadap keputusan tersebut, serta kemampuan
mengunakan (memiliki) seperangkat prinsip tentang benar dan salah serta penting dan
tidak penting
Untuk menjadi individu yang mandiri tidaklah muncul begitu saja secara
mendadak atau terjadi dalam tempo yang singkat, tetapi harus dimulai dengan latihan
kemandirian sejak kecil dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Adanya perubahan-perubahan yang terjadi atau interaksi diantara berbagai variabelvariabel
di atas merupakan refleksi dan kondisi progresif yang terjadi selama masa
remaja dalam menuju perkembangan kemandirian. Seperti yang dikemukakan Smart dan
Smart (1978) bahwa kemandirian dapat dilihat sejak individu masih kecil dan akan terus
berkembang sehingga akhirnya menjadi sifat yang relatif menetap pada masa remaja.
Dalam mencapai kemandirian secara emosional, kemampuan remaja tunarungu
akan sangat ditentukan oleh pola interaksi yang terjadi di lingkungan keluarga dimana
proses sosialisasi berlangsung. Kualitas kemandirian remaja tunarungu tergantung
bagaimana keluarga atau orangtua memandang mereka yang dimanifestasikan melalui
perilaku-perilaku (pola asuh) yang berlangsung selama interaksi itu terjadi, yaitu sejak
anak-anak sampai masa remaja.
Sedangkan dalam kemandirian perilaku yang berhubungan dengan kemampuan
pengambilan keputusan, remaja tunarungu akan dipengaruhi oleh kemampuan kognitif
mereka dimana kemampuan tersebut akan mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan
yang menyangkut konsekuensi-konsekuensi yang diwujudkan melalui perilaku-perilaku
yang muncul. Dalam kemandirian nilai, remaja tunarungu dituntut memiliki perubahan
dalam cara berpikir untuk kemudian dapat mengintegrasikan nilai-nilai yang
bertentangan serta memiliki prinsip-prinsip yang terbentuk sesuai sistem nilai yang
berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Aprilia, I. D. (2002). Program Bimbingan dan Konseling bagi Siswa Tunarungu. Tesis.
Bandung: Program Pascasarjana UPI.
Dacey, J. & Kenny, M. (1997). Adolescent Development Second Edition. New York:
WCB/McGraw-Hill, Inc.
Hallahan, D. & Kauffman, M. J. (1991). Exceptional Children, Introduction to Special
Education (Fifth Ed). New Jersey: Prentice Hall International Inc.
Hiyaroh, Heni. (2002). Analisis Penguasaan Tugas-tugas Perkembangan Remaja
Tunarungu. Skripsi Jurusan Pendidikan Luar Biasa FIP UPI.
Hurlock, E. B. (1980). Developmental Psychology A Life-Span Approach. Fifth Edition.
New York:McGraw-Hill, Inc.
Bunawan, L. (1989). Psikologi Anak Tunarungu. Jakarta: Zinnia.
Masrun, dkk. (1986). Studi mengenai Kemandirian pada Penduduk di Tiga Suku Bangsa
(Jawa, Batak, Bugis). Laporan Penelitian. Yogyajarta: PPKLH Universitas Gajah
Mada.
Moores, D. F. (1982). Educating The Deaf, Psychology, Principles, Practices. Boston:
Houghton Mifflin Company.
Neely, M. (1982). Counseling and Guidance Practices with Special Student. Illionis: The
Dorsey Press Homewood.
Olivia, A. (2000). Personal, Social and Family Correlates of Emotional Autonomy in
Adolescence. Universidad de Sevilla. Avda. San Francisco.
http://www.pdipas.us.es/o/olivia/jena%20paper.doc.
Sigelman & Shaffer. (1995). Life Span Human Development. California: Brooks/Cole
Publishing Company.
Sprinthall, N. A. & Collins, W. A. (1995). Adolescent Psychology: A Developmental
View Third Edition. New York: McGraw-Hill, Inc.
Steinberg, L. (1993). Adolescence. International Edition Third Edition. New York:
McGraw-Hill, Inc.
Widjaja, H. (1986). Hubungan antara Asuhan Anak dengan Ketergantungan-
Kemandirian. Disertasi. Bandung: Fakultas Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Yusuf , Syamsu. (1998). Model Bimbingan dan Konseling dengan Pendekatan Ekologis.
Disertasi. Bandung: Program Pascasarjana, UPI Bandung.
Sumber Jurnal:
Harris, L. k., et.al. (1997). Counseling Need of Student Who Are Deaf and Hard of
Hearing. The School Counselor 44, 271-279.
Peterson, G. W. & Bush, K. R. (2007). Predicting Adolescent Autonomy from Parent:
Relationship Connectedness and Restrictiveness. Journal of Family Psychology 18,
621-632.
Russels, S, & Bakken, R. J. (2007). Developmental of Autonomy Adolescence. Journal of
Developmental Psychology 18, 806-811.
Sandhu, D. & Tung, S. (2006). Role of Emotional Autonomy and Family Environment in
Identity Formation of Adolescents. Pakistan Journal of Psychologycal Research 21,
1-8.
BIODATA
IMAS DIANA APRILIA
Penulis adalah dosen di Jurusan Pendidikan Luar Biasa FIP UPI dengan spesialisasi
pendidikan anak tunarungu; menyelesaikan Program S2 dalam Bidang BP BAK, saat ini
penulis adalah kandidat Doktor pada Program Studi BK di Sekolah Pascasarjana UPI
Bandung.
Artikel http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/197004171994022-IMAS_DIANA_APRILIA/ARTIKEL_1.pdf

Sabtu, 25 Januari 2014

Dubstep adalah genre musik dansa elektronik yang berasal dari London Tenggara, awalnya hanya menjadi salah satu tema bagi kalangan tertentu saat merayakan pesta.

Musik Dubstep mulai ramai dibicarakan pada 2001 di kalangan anak muda London, Inggris. Dubstep populer buat anak muda yang suka bereksperimen dengan musik garasi. Dengan makin maraknya musik-musik remix juga ikut membuat jenis musik ini tersebar luas.

Pakar dubstep di luar negeri boleh dibilang sangat banyak, seperti Skrillex, Deadmau5, Excition, Zomboy, Kill The Noise, Noisia, dan favorit saya Klaypex serta dubstepper lokal Mardial dan masih banyak lagi.

Musik dubstep makin sering didengar di radio, tercatat pada 2003 oleh Dj Jhon Peel yang memainkannya di BBC radio dan Dj Mary Anne Hobbs yang juga memperjuangkan dubstep sebagai salah satu genre musik.

Ciri mendasar dari musik dubstep adalah ritme yang tidak mengikuti hitungan 4/4 seperti yang digunakan oleh genre musik techno dan house. Bassline dalam dubstep juga cenderung lebih tebal.


Di Indonesia, sebenarnya sudah banyak acara dubstep yang dibuat, salah satunya acara rutin, yakni ‘24/7 Dubstep’ dan ‘Agriculture’.

contoh Dubstep Dance : 


Cara BodyWavenya http://www.youtube.com/watch?v=qz9UuwfT70E